logoSibia
logo
Tarbiyah
Dzikir Selepas Sholat
Bag 1
Salah satu syiar Islam yg mulai ditinggalkan oleh kaum muslimin adalah dzikir setelah sholat, entah karena kebiasaan masyarakat setempat, atau karena para orang tua yang tidak mengajarkan dzikir kepada anak-anaknya selepas sholat. Sedangkan dzikir selepas sholat fardhu adalah sebuah amalan-amalan yang hampir tidak pernah terlepas dari lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Sangat disayangkan jika anak-anak kita tidak dibiasakan berdzikir selepas sholat, sehingga menyebabkan hilangnya berbagai kebaikan di dalamnya.
Berangkat dari situlah Kuttab Ibnu Abbas membiasakan peserta didik untuk berdzikir selepas sholat dengan jahr (suara dikeraskan).
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengeraskan suara dzikir selepas sholat.
Sebagian Ulama seperti Imam Syafii menganggap sunnah, dengan tujuan pembelajaran.
Adakah Dalil yang dipakai oleh Imam Syafi’i?
Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata kepadaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya, bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ
“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
Dari hadits-hadits inilah sebagian Ulama mengatakan bahwa mengencangkan dzikir sunnah dilakukan, terlebih dalam masa-masa pembiasaan dan pembelajaran.
Allahu A’lam
(Basthoh)
logo
Tarbiyah
Rasa Malu Buah Dari Keimanan
“Yaa bintî limadza taqifîna hunaa..(nak kenapa berhenti di sini)?.” Tanya seorang ustadz kepada santriwatinya. Saat itu santriwati tersebut hendak menaiki tangga kemudian berhenti.
“ itu ustadz…ada thâlib yang mau turun dari atas.” Jawab santriwati tersebut.
Masya Allah…alasan santriwati tersebut untuk berhenti sejenak adalah menunggu beberapa santri yang saat itu akan turun dari tangga, ia malu berpapasan dengan santri, karena memang jalur di tangga tersebut agak sempit. Rasa malu atau al-hayâ’ yang mendorongnya untuk tidak berdesakan di tangga dengan laki-laki, Masya Allah tabarakallah.
Dewasa ini kita mendapati penyakit krisis rasa malu menjangkiti remaja kita, pergeseran nilai dan kerusakan moral masyarakat saat ini di antara penyebabnya adalah hilangnya rasa malu, maka menumbuhkan rasa malu pada peserta didik merupakan perkara penting yang harus diemban oleh para orang tua di rumah dan pendidik di sekolah.
Rasa malu adalah buah dari keimanan hakiki, Rasulullah bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laailaahaillallah’, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Hayâ menurut Al-Jurjani adalah menahan diri melakukan sesuatu dan meninggalkannya karena akan mendatangkan celaan, adapun menurut Abdullah Nasih Ulwan Al-Hayâ adalah sikap komitmen untuk menjaga nilai-nilai kemuliaan dan norma-norma Islami, maka secara ringkas sebenarnya al-hayâ adalah ruh dari semua akhlak mulia.
Dalam Al-Qur’an kata hayâ diunkapkan dengan tambahan tiga huruf, yaitu alif, sin, dan ta, sehingga derivasinya menjadi istahyâ, yastahyî, istihyâ, lafazh istihyâ Allah sebutkan ketika menceritakan puteri nabi Syuaib ketika berjalan menemui nabi Musa ‘alaihissalâm
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا.....
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…..”. (QS. Al-Qashash:25)
Inilah sikap perempuan mulia yang menjaga dirinya, ia mendatangi nabi Musa dengan menutupi wajahnya dengan lengan bajunya karena rasa malu yang ada pada dirinya.Inilah rasa malu yang merupakan warisan para, nasihat para nabi untuk para umatnya, Rasulullah bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْت
“Sesungguhnya termasuk yang diketahui manusia dari ucapan kenabian terdahulu: Apabila kamu tidak tahu malu maka lakukanlah semaumu.”
(Abu Isra)
logo
Tarbiyah
Guruku
Guru adalah sosok yang sangat berjasa bagi semua orang. Dari hasil didikan seorang guru muncul lah ilmuwan, dokter, insiyur, bahkan pemimpin. Tak jarang juga muncul para ulama yang ahli di bidang ilmu agama dikarenakan jasa guru yang mengajarinya. Maka dari itu banyak sekali untaian kata dari nabi dan para sahabat, juga para ulama yang mengungkapkan kemuliaan seorang guru.
Guru terbaik baginda nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya dan penduduk langit dan bumi sampai semut yang berada di lubang serta ikan di tengah lautan mendo'akan para guru kebaikan".
Umar bin Khattab juga berkata :
"Belajarlah, dan ajarkan ilmu kepada manusia, dan belajarlah untuk tunduk dan tenang kepada guru, bersikaplah rendah hati kepadanya".
Imam Syafi’i berpesan:
"Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru. Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya".
Seorang penyair berkata : "Kalaulah tanpa jasa guru niscaya aku tidak bisa membaca dan menulis huruf".
Karena Jasa guru seseorang menjelajahi antariksa. Karena lentera ilmu mereka, yang telah mencahayai kegelapan kejahilan.
Sesungguhnya guru laksana sungai Nil yang selalu mengalirkan air bersih dan menghidupkan sekitarnya.
Rekreasi terbaik bagi guru adalah mengajar. Ketika melihat anak didiknya bandel Ia berusaha sabar dan menghadirkan pada hatinya bahwa salah satu dari mereka yang akan menariknya menuju surga.
Bahkan salah seorang sholihin mengatakan:
لولا المربي ما عرفت ربي
“Jika bukan karena guru, niscaya aku tidak akan mengenal Tuhanku (lebih dekat)”
Kado terindah bagi guru ketika melihat anak didiknya berhasil dan sukses dalam mempelajari ilmu.
Abu Qory
logo
Tarbiyah
Bangga Menjadi Guru
Dahulu guru adalah profesi yang patut dibanggakan dan dihormati. Namun itu terjadi di zaman dahulu. Kebanggan itu mulai luntur ditambah fakta anak muda sekarang menjadikan profesi guru pilihan terakhir. Mereka minder menjadi guru dikarenakan dianggap tidak keren, trendy dan tidak menjanjikan.
Tentu jika kita menyelam kembali pada hakikat hidup ini. Sesungguhnya profesi guru adalah profesi terbaik dan termudah untuk meraih surga Allah.
Diantaranya adalah guru merupakan warisan Rasul. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر
Artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641)
Guru baik (Alim) adalah kunci pintu-pintu kebaikan dan kunci penutup segala pintu keburukan. Imam Asy-Syauqi rahimahullah berkata dalam syairnya:
قُم لِلمُعَلِّمِ وَفِّهِ التَبْجِيْلًا … كادَ المُعَلِّمُ أَن يَكونَ رَسُوْلًا
“Sambutlah Sang Guru, dan berikan penghormatan untuknya. Hampir-hampir seorang guru menjadi seorang Rasul (atau menyamai fungsi dan kedudukannya).”
يقول ثابت بن عجلان الأنصاري: "كان يقال: إن الله ليريد العذاب بأهل الأرض فإذا سمع تعليم الصبيان الحكمة صرف ذلك عنهم"، قال مروان يعني بالحكمة القرآن (سنن الدارمي).
Tsabit bin Ajalan Al Anshary berkata : dikatakan : "Sungguh Allah berkeinginan mengadzab para penghuni bumi. Ketika mendengar anak-anak belajar Al Quran, Allah mengurungkan itu" Sunan Ad Darimy.
Basthoh
logo
Tarbiyah
Keberkahan Ilmu pada Anak ketika Menghormati Guru
Memuliakan ahli ilmu dan menghormatinya merupakan sikap para salafus salih. Mereka melakukan itu karena mengharap keberkahan ilmu dari gurunya.
Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai pintu ilmu. Beliau mengatakan:
أنا عبد من علمني حرفا واحدا، إن شاء باع وإن شاء استرق
“Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”
Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Mut’allim mengisahkan, suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma’I untuk belajar ilmu dan adab, beliau adalah salah satu ulama besar yang menguasai bahasa Arab. Di sebuah kesempatan Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kakinya, sedangkan putra Harun Ar-Rasyid menuangkan air untuk sang guru. Setelah menyaksikan peristiwa itu, Harun Ar-Rasyid pun menegur Al-Ashma’i atas tindakannya itu, “Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”
Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa itu harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru. Sebagai orangtua, Harun Ar-Rasyid mempercayakan pendidikan anaknya kepada guru. Biaya yang dikeluarkan oleh beliau juga tak sedikit untuk memuliakan guru. Terlebih, guru juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya sebagaimana anak-anak lain, tanpa harus sungkan karena mendidik anak khalifah.
Putra Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun pernah berebut sepasang sandal gurunya Al-Kisa’i. Keduanya berlomba untuk memasangkan sandal gurunya di kaki beliau, sehingga mengundang kekaguman sang guru. Gurunya lalu berucap, “Sudah, masing-masing pegang satu-satu saja.”
Hari ini kita melihat fenomena yang menyedihkan dimana hilangnya wibawa para guru, mereka tidak mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang sepantasnya. Maka kiamat pendidikan adalah ketika wibawa guru telah hilang dan mereka sudah tidak dihormati lagi.
Keberkahan ilmu akan didapatkan oleh seorang murid manakala ia mampu menghormati gurunya, serta menjaga adab di depan guru. Namun sebaliknya, ketika seorang murid tidak menjaga adabnya di hadapan guru maka akan hilang keberkahan dari ilmu yang dia pelajari.
(Agus Abu Qory)
logo
Tarbiyah
TARBIYATUL AULAD
Pendidikan Anak Menurut Ustadz dr. Haidar Bawazier SpPd
Intisari dari Kajian Ibu-Ibu Ibnu Abbas BSD
Pendidikan terbaik untuk anak sejak dini adalah pendidikan agama, lalu dibarengi pendidikan ilmu pengetahuan umum. Tujuan pendidikan agama adalah agar terbentuknya akhlaqul karimah, anak didik mampu berbahasa arab (bahasa ilmu pengetahuan agama islam), serta mampu menghafal Al-Qur’an.
Maka dalam hal ini Kuttab Ibnu Abbas berusaha memberikan pendidikan tersebut kepada para peserta didiknya.
Dalam kajian ibu-ibu di gedung sekolah Ibnu Abbas BSD pada hari Jum’at 10 Desember 2021 lalu dr. Haidar selaku Kepala Sekolah Ibnu Abbas BSD menyampaikan bahwa ada 2 hal yg ingin dicapai dari pendidikan Kuttab:
1. Tujuan Tarbawi:
Membentuk karakter anak terkait dg ibadah & akhlak.
2. Tujuan Taklimi:
Taklimi adalah mentransfer ilmu dari pengajar.
Pada pendidikan sekuler, sisi tarbawi disingkirkan sehingga hanya unggul pada sisi taklimi/sisi pengetahuan umum saja. Saat ini masih banyak lembaga pendidikan Islam hanya 'menjual' pendidikan dari sisi taklimi.
Proses Tarbawi, mendidik anak memahami tanggung-jawabnya, seperti melatih anak senang membuka Al-Qur'an, proses sabar saat menghafal Al-Qur'an & kesiapan mental menghadapi ujian hafalannya.
Pada sekolah Tahfizh, akan dipertanyakan tentang seberapa banyak target hafalan raihan muridnya. Sementara pada Kuttab, maka seberapa banyak raihan hafalan tidaklah dipertanyakan karena masing-masing anak berbeda minat dan berbeda keunggulannya di masing-masing mapel. Melalui Kuttab, murid dibimbing untuk memahami apa sajakah yang menjadi tanggung-jawabnya kelak saat memasuki usia baligh. Selain itu, Kuttab melihat minat dan bakat masing-masing muridnya.
Kuttab merupakan lembaga yang memiliki penggabungan 2 proses, yaitu proses Tarbawi & proses Taklimi. Saat ini umat Islam sangat membutuhkan generasi dengan akidah & ghirah yang kuat untuk mengangkat kejayaan Islam. Hal tersebut bisa berasal dari beragam bakat dan profesi yang kelak anak-anak kuasai.
Pada proses mentarbiyah, perlu adanya sinkronisasi antara orang-tua dan anak sehingga terjalin sebuah hubungan yang dinamis yang insyaa Allah target yang dituju lebih mudah untuk diraih dan diwujudkan.
Anak merupakan investasi orang tua, yang dicapai melalui kerja keras orang tua untuk menyelaraskan antara aktifitas dan visi dengan anaknya.
Bermain bagi anak adalah sebuah kebutuhan dan sudah menjadi dunianya. Yang harus diperhatikan adalah mengarahkan jenis permainan dan aktifitas bermainnya yang dipastikan tidak merusak moral anak.
Ummu Aina Abdullah
logo
Tarbiyah
Sentuhan Tak Telupakan
Suatu ketika ada seorang pemuda mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk melakukan perbuatan yang termasuk dosa besar yang dimurkai Allah, pemuda itu minta izin untuk melakukan zina. Gemparlah majelis Rasulullah SAW itu. Untuk apa pemuda itu menanyakan sesuat yang sudah jelas jawabannya?  Namun, Rasulullah meresponnya penuh dengan kelembutan dan bijaksanaa. Rasulullah bertanya kepadanya,” apakah engkau rela hal itu terjadi pada ibumu? Apakah engkau rela hal itu terjadi pada putrimu? Apakah engkau rela hal itu terjadi pada saudarimu? Apakah engkau rela hal itu terjaadi pada bibimu?.”
“Tidak, Demi Allah, biarkan Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu.”
Rasulullah SAW bersabda, ''Wahai anak muda, ketahuilah bahwa tidak seorang pun yang rela terhadap perbuatan yang menodai kehormatan keluarganya.''
Kemudian dengan penuh kelembutan Rasulullah meletakkan telapak tangannya di dada pemuda tersebut seraya berkata,
اللهمَّ طهِّرْ قلبَه واغفر ذنبَه وحصِّنْ فَرْجَه
"Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya (jauhkan dari zina)." (Riwayat Ahmad dengan sanad Shahih)
Setelah pemuda itu tidak pernah lagi condong kepada kemaksiatan apalagi berzina.
Sentuhan fisik saat memberikan nasihat dan bahkan saat menyampaikan pembelajaran menjadi pelengkap dalam dunia pendidikan. Guru peradaban Nabi Muhammad Sholallohu ‘alayhi wa Sallam memberikan tauladan dalam sentuhan pada kisah di atas, beliau pegang dada pemuda tersebut seraya mendoakanya.
Sentuhan penuh kasih sayang yang diberikan orang tua ataupun pendidik juga dapat berdampak secara kognitif pada anak. Sambil memeluk dan membelai kepala anak, orang tua dapat memberi masukan mengenai hal-hal baik yang perlu dilakukan olehnya. Masukan-masukan dalam situasi positif semacam itu akan lebih mudah diproses dalam pikirannya.
Bahkan sentuhan seorang akan menjadi kenangan yang tak pernah terlupakan bagi anak didik ataupun peserta didik, lihatlah bagaimana ketika Saad bin Abi Waqash sedang sakit, kemudian Rasulullah datang menjenguknya dan beliau mendoakannya seraya menyentuh dadanya,
اللهم اشف سعدا
“Ya Allah sembuhkanlah Saad.”
Sentuhan ini tidak pernah terlupakan oleh Saad. Sehingga di hari-hari terakhir kehidupannya beliau berkata,”saya masih merasakan kelembutan tangan beliau sampai hari ini.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menggerakan emosi anak-anak dengan mengusap kepala mereka hingga mereka merasakan kasih sayang, kerinduan dan cinta beliau. Sesuatu yang dengannya si anak merasakan bahwa kehadirannya dihargai. Dia merasakan cinta dan perhatian orang-orang dewasa kepadanya.
Suatu hari Abu Mahdzurah ingin belajar adzan kepada Rasulullah,
“Wahai Rasululloh, ajarkanlah aku cara adzan. Lalu beliau mengusap bagian depan kepalaku seraya bersabda, bacalah, Allahu Akbar, Allahu Akbar…………..” (HR Abu Daud No. 500).
(Abu Isra)
logo
Tarbiyah
Aku Ingin Membahagiakan Orang Tua dengan Al-Qur’an
Oleh Arkana
Setiap orang tua pasti bahagia dan bangga ketika anaknya mampu menghafalkan al-Qurán. Hingga terkadang usaha apa pun dilakukan hingga anak bisa nyaman di rumah menikmati waktunya bersama al-Qurán. Walau memang setiap anak pasti menghadapi tantangan yang berbeda-beda.
Kali ini, Redaksi Ibnu Abbas akan mengulik kisah dari salah satu siswa Kuttab Ibnu Abbas yang sedang menyiapkan diri untuk mengikuti ujian 10 juz. Namanya Muhammad Arif Dzulkarnain, ia biasa disapa Arkana. Lahir di BSD pada 28 Desember 2010. Dan sekarang ia tinggal bersama orang tuanya komplek Cryshant 1 BSD. Selain belajar dan bermain di rumah sebagaimana umumnya anak-anak, Arkana juga gemar dengan computer. Cerita kali ini harapannya bisa bermanfaat dan menginspirasi untuk semua orang.
Arkana bercerita saat menghafal Al Quran di rumah paling sering bersama ayahnya. Jika ada sedikit kesalahan ayahnya akan tegas memberikan teguran. Sehingga dia harus benar-benar sering mengulang-ulang bacaannya agar lancar saat menghafalnya.
Waktu terbaik Arkana dalam menghafal atau murajaah di rumah biasanya dimulai setelah subuh sampai jam 6 pagi. Kemudian setelah ashar sampai jam 5 sore bersama orang tua. “Biasanya sih habis shubuh sampai jam 6 pagi.” ungkapnya.
Dia juga mengatakan bahwa hal besar yang akan ia berikan kepada orang tuanya sebagai hadiah di masa yang akan datang adalah ingin membahagiakan mereka dengan menghafalkannya Al Qur’an 30 juz. In syaa Allah
Lalu ia bercerita bahwa ayahnya sering mengatakan“Cepatlah dalam menghafalnya, nanti dapat hadiah”, kata-kata dari ayahnya ini cukup menjadi salah satu pemacu semangat Arkana dalam menghafal Al-Qur’an. Dan nasehat berharga dari ibunya adalah saat sang ibu mengatakan “Jangan jadi anak nakal!”, karena saat itu ia pernah bermain bersama teman-teman di taman, lalu mengambil jambu yang bukan miliknya. Sang ibu ingin agar Al-Qur’an tak hanya menjadi hafalan, tetapi juga menjadi akhlaq keseharian putranya (red).
Arkana berpesan kepada teman-teman yang malas dalam menghafal agar membuang rasa malas dan mengubahnya menjadi semangat dalam menghafal. “Ayo lebih semangat lagi ngajinya. Jadilah hafizh, agar orang tua bahagia dan bangga”, tuturnya.
Menurut Arkana hal yang membuat kangen dan betah di Kuttab Ibnu Abbas adalah saat Mabit (bermalam di sekolah). Mabit menjadi kenangan paling berkesan baginya. Karena selai menghfal dan belajar ada aktivitas lain yang bermanfaat dan mengasyikkan. “Bisa main sama teman-teman. Senang aja datang ke kuttab menjelang maghrib, beraktivitas bareng hingga pagi. Ada nontonnya juga, lari pagi, main bola dll”, imbuhnya.
Semoga cerita ini dapat menginspirasi bagi yang membacanya. Bagi seluruh ayah dan bunda, serta sahabat Ibnu Abbas agar selalu mendoakan kelancaran bagi Arkana dalam menjalani ujian 10 juznya yang akan diadakan selama lima hari, mulai senin 21 maret hingga 25 maret 2022. Setiap harinya Arkana akan menyetorkan dua juz kepada penguji. Semoga Allah mudahkan. Aamiin
Reporter: Usman Baco
logo
Tarbiyah
Hadiah untuk Orangtua Pendidik Ahlul Quran
(Usman Baco Sau)
Banyak diantara kaum muslimin merasa dirinya sebagai pecinta Nabi. Tak sedikit pula yang mengaku sebagai orang yang paling mencintai Nabi. Sayangnya, rasa dan pengakuan tersebut tak berbanding lurus dengan usaha dan ikhtiar mereka.
Sebagai orangtua muslim yang cerdas, sadarkah kita bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam telah memberikan kita petunjuk untuk menjadi ayah dan ibu pecinta beliau.
Salah satu usaha dan ikhtiar yang bisa kita upayakan segera adalah mendidik anak-anak kita dengan Al-Quran. Karena ini adalah perintah langsung baginda Shallallahu Alaihi Wasallam. Sebagaimana hadistnya dari Ali bin Abi Thalib RA bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
أدبوا أولادكم على ثلاث حصال: حب نبيكم وحب ال بيته وتلاوة القرآن فإن حملة القران فى ظل الله يوم لاظل إلا ظله مع أنبياءه وأصفيائه
“Didiklah anak-anakmu atas tiga hal; mencintai nabimu, mencintai ahli baitnya dan membaca al-Qur’an, karena orang mengamalkan al-Qur’an nanti akan mendapatkan naungan Allah pada hari ketika tiada naungan kecuali dari-Nya bersama para nabi dan orang-orang yang suci”. HR. At-Thabrani
Maka sebagai orangtua yang mencintai Nabi, selayaknyalah perintah dari sang kekasih ini dengan sungguh-sungguh kita tunaikan, yaitu dengan mendidik anak-anak kita dengan Al-Quran; belajar membacanya, menghafalkannya, memahaminya, mengamalkan serta mengajarkannya kepada orang lain.
Dalam hadits lainnya rupanya Baginda Nabi telah menjelaskan bahwa buah dari perjuangan pra orangtua yang mendidik anak-anak dengan Al-Quran adalah berhak mendapatkan mahkota dan pakaian kemuliaan. Maa syaa Allah, sangat agung bukan?
Hal ini berdasarkan hadist dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قرأ القرآن وتعلَّم وعمل به أُلبس والداه يوم القيامة تاجاً من نور ضوؤه مثل ضوء الشمس ، ويكسى والداه حلتين لا تقوم لهما الدنيا فيقولان : بم كسينا هذا ؟ فيقال : بأخذ ولدكما القرآن
Siapa yang menghafal al-Quran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?” Lalu disampaikan kepadanya, “Disebabkan anakmu telah mengamalkan al-Quran.” (HR. Hakim 1/756 dan dihasankan al-Abani).
Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يجيء القرآن يوم القيامة كالرجل الشاحب يقول لصاحبه : هل تعرفني ؟ أنا الذي كنتُ أُسهر ليلك وأظمئ هواجرك… ويوضع على رأسه تاج الوقار ، ويُكسى والداه حلَّتين لا تقوم لهما الدنيا وما فيها ، فيقولان : يا رب أنى لنا هذا ؟ فيقال لهما : بتعليم ولدكما القرآن
Al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu… ” kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya, dan kedua orang tuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Quran.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath 6/51, dan dishahihkan al-Albani)
Mari buktikan cinta kita sebagai orangtua pencinta Nabi dengan mendidik anak-anak kita dengan Al-Quran. Mulailah dengan niat yang lurus, ajarkan anak-anak kita akan nilai-nilai mulia Al-Quran, kisahkan kepada mereka orang-orang terdahulu hingga zaman ini yang telah dimuliakan dengan al-Quran, hadirlah dalam perkembangan mereka bersama Al-Quran, adakan evaluasi dan kreativitas agar mereka tetap terhibur selama belajar dan menghafal, dan mulailah. Semoga Allah Sang Penyayang mudahkan; Bismillah! (BSD, 16/9/22)
logo
Tarbiyah
Tips Pendampingan Anak di Rumah Dalam Menghafal AlQur’an (Sharing Wali Murid)
Zhafran Navid Ataya, siswa Kuttab Ibnu Abbas halaqah Muadz kelas 6 telah menyetorkan hafalan 18 juz. Tentunya peran orang tua di rumah sangat berpengaruh dalam proses menghafal anak. Bapak Ahmad Hidayatullah dan Ibu Dharma Suryani adalah orang tua dari Ananda Navid. Keduanya membagikan beberapa kiat-kiat dalam membentuk seorang anak menjadi Hafizh Qur’an, berdasarkan pengalaman tentang bagaimana kegiatan menghapal anak-anak beliau di rumah.
Berikut penuturan beliau berdua:

  1. Kiat memotivasi anak menghafal


Kami berusaha memberikan reward/hadiah kepada anak-anak ketika mereka lulus ujian 1 juz. Karena anak-anak di kelas 1 dan 2 masih bisa murojaah sambil bermain, maka hanya diterapkan metode reward/hadiah. Sambil kami tanamkan pemahaman dalam hati dan pikiran anak-anak bahwa yang paling utama adalah pahala dari setiap huruf yang mereka baca dan hadiah yang terbaik adalah surga dan kemuliaan didalamnya yang bisa didapatkan oleh seorang hafidz yang ikhlas melakukannya hanya demi Allah semata.
Ketika murojaah dan bermain sudah tidak bisa dilakukan bersamaan, maka kami mulai menerapkan metode reward and punishment. Anak-anak bisa bermain setelah menyelesaikan kewajiban mereka yaitu menambah hapalan ataupun murojaah. Dan mendapatkan hadiah ketika mereka menambah hapalan 1 juz.

  1. Membentuk habbit anak-anak menghapal mandiri


Semua merupakan proses pembiasaan sejak awal. Sejak pertama kali anak-anak mulai belajar menghapal, kita membuat jadwal untuk anak-anak menambah hapalan baru dan murojaah.
Pada hari sekolah, anak-anak hanya murojaah di sore hari ba’da ashar. Pada hari libur, pagi adalah waktu anak-anak untuk menambah hapalan, sedangkan sore ba’da ashar adalah waktu anak-anak untuk murojaah. Setelah anak-anak menyelesaikan kewajiban mereka, kami membebaskan mereka untuk bermain.
Proses ini dimulai dari anak-anak kelas 1, dan terus berjalan sampai sekarang, maka dibutuhkan kesabaran dari kita orang tua untuk mendampingi mereka. Karena ada masa-masa dimana semangat untuk menambah hapalan dan murojaah anak-anak menurun, maka kita tetap berusaha istiqomah, tetap untuk menjalankan sesuai jadwal harian tapi mungkin bisa disesuaikan dengan kondisi anak-anak dengan mengurangi kuantitas murojaah ataupun murojaah sambil membaca Al Quran ataupun mendengarkan murotal.
Alhamdulillah sampai sekarang kita bisa menjalani kebiasaan ini sebagai rutinitas harian.

  1. Peran ayah dan ibu dalam perjalanan anak-anak mencapai hasil sekarang.


Kami sebagai orang tua berusaha untuk mendampingi anak-anak dalam proses mereka selama ini. Ketika mereka berusaha untuk menambah hapalan, kita bantu dengan menyimak hafalan mereka per ayat, sampai mereka menyelesaikan 1 halaman.
Ketika mereka berusaha untuk murojaah, terutama hafalan-hafalan baru, kita bantu dengan menyimak mereka per halaman, kemudian per ¼ juz, kemudian per ½ juz sampai mereka bisa 1 juz sekali duduk.
Tentunya kita juga selalu mendoakan anak-anak agar mereka diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menghapal Al Quran dan dapat mengamalkannya dalam kehidupan mereka. Karena salah satu doa yang tidak tertolak adalah doa orang tua untuk anaknya.
Dan kami selalu mengingatkan anak-anak untuk menjaga adab dan akhlaq mereka kepada para asatidz/asatidzah, agar mereka mendapatkan keridhoan dan keberkahan dari ilmu yang mereka pelajari.
Kebaikan semua datang dari Allah
Inilah pengalaman kami selama ini dalam mendampingi anak-anak untuk berusaha menjadi seorang hafidz.
Mohon maaf bila ada kekurangan, semua itu dari diri kami pribadi dan semua kebaikan yang ada adalah milik Allah semata.
Reporter: Basthoh
logo
Tarbiyah
SISWA BERTANYA, GURU MENJAWAB #2

Ustadz, Bagaimana nasib anak kecil yang non muslim jika mereka meninggal. Apakah mereka di Surga atau di Neraka? Pertanyaan ananda Nayfah, siswi kelas 4 Sekolah Islam Bilingual Ibnu Abbas BSD


Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah (dalam Majmu Fatawa wa Maqalat Assyaikh Bin Baz, 3/163) menjawab:


Jika anak tersebut belum mukallaf (terkena beban syariat), dan kedua orang tuanya kafir, maka hukumnya sebagaimana yang berlaku bagi orang tuanya. Yaitu tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak boleh dimakamkan di pemakaman kaum muslimin. Sedangkan di akhirat, kembali kepada kehendak Allah Ta’ala. Terdapat hadits shahih dari Rasullah shallallahu ’alaihi wasallam, ketika ditanya tentang nasib anak-anak orang musyrik, beliau menjawab:


الله أعلم بما كانوا عاملين


“Allah Maha Mengetahui tentang apa yang mereka perbuat.” (Muttafaqun ‘alaih)


Menurut penjelasan sebagian ulama tentang hadits ini, artinya Allah akan menampakkan apa yang Ia ketahui tentang nasib anak-anak tersebut di hari kiamat kelak. Mereka akan diuji dengan pertanyan, sebagaimana pengujian terhadap ahlul fathrah atau semacam mereka. Jika mereka bisa menjawab pertanyaan tersebut, mereka akan masuk surga. Jika mereka tidak bisa menjawab, mereka akan masuk neraka.


Banyak sekali hadits shahih yang membahas tentang pengujian terhadap ahlul fathrah, yaitu orang-orang yang sama sekali belum pernah mendengar ajaran para Rasul, atau yang semisal mereka, seperti anak-anak kecil kaum musyrikin. Hal ini didasari oleh firman Allah ‘Azza Wa Jalla:


وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا


“Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. Al Isra: 15)


Pendapat ini adalah pendapat yang lebih tepat dari beberapa pendapat yang ada tentang status ahlul fathrah atau orang yang semisal mereka. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga murid beliau, Ibnu Qayyim, juga sejumlah ulama terdahulu, serta para ulama setelah mereka, semoga Allah merahmati mereka.


Wallahu A'lam


Usman Baco Sau


Guru Tarbiyah Qur'aniyah SIBIA BSD


logo
Tarbiyah
SISWA BERTANYA, GURU MENJAWAB

Ustadz, saat di rumah jika setelah berwudhu saya bersalaman dengan Ibu saya, apakah wudhu saya batal? Evan, Siswa Kelas 6 Halaqah Muadz


Bismillah,Menurut madzhab Syafi’i, bersentuhan lawan jenis antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu dengan dalil berikut ini:


QS. Al Maidah : 6


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ


"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan,
maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur."


Dalam madzhab Syafi'i: Ibu dan anak adalah mahram. Jadi andai setelah berwudhu saling bersentuhan, ia tidak membatalkan wudhu.


Usman Baco Sau

Guru Tarbiyah Fiqh Kelas 6 SIBIA BSD


Wallahu A’lam.