logoSibia

#Tarbiyah

Rasa Malu Buah Dari Keimanan

by Ibnu Abbas on

“Yaa bintî limadza taqifîna hunaa..(nak kenapa berhenti di sini)?.” Tanya seorang ustadz kepada santriwatinya. Saat itu santriwati tersebut hendak menaiki tangga kemudian berhenti.
“ itu ustadz…ada thâlib yang mau turun dari atas.” Jawab santriwati tersebut.
Masya Allah…alasan santriwati tersebut untuk berhenti sejenak adalah menunggu beberapa santri yang saat itu akan turun dari tangga, ia malu berpapasan dengan santri, karena memang jalur di tangga tersebut agak sempit. Rasa malu atau al-hayâ’ yang mendorongnya untuk tidak berdesakan di tangga dengan laki-laki, Masya Allah tabarakallah.
Dewasa ini kita mendapati penyakit krisis rasa malu menjangkiti remaja kita, pergeseran nilai dan kerusakan moral masyarakat saat ini di antara penyebabnya adalah hilangnya rasa malu, maka menumbuhkan rasa malu pada peserta didik merupakan perkara penting yang harus diemban oleh para orang tua di rumah dan pendidik di sekolah.
Rasa malu adalah buah dari keimanan hakiki, Rasulullah bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laailaahaillallah’, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Hayâ menurut Al-Jurjani adalah menahan diri melakukan sesuatu dan meninggalkannya karena akan mendatangkan celaan, adapun menurut Abdullah Nasih Ulwan Al-Hayâ adalah sikap komitmen untuk menjaga nilai-nilai kemuliaan dan norma-norma Islami, maka secara ringkas sebenarnya al-hayâ adalah ruh dari semua akhlak mulia.
Dalam Al-Qur’an kata hayâ diunkapkan dengan tambahan tiga huruf, yaitu alif, sin, dan ta, sehingga derivasinya menjadi istahyâ, yastahyî, istihyâ, lafazh istihyâ Allah sebutkan ketika menceritakan puteri nabi Syuaib ketika berjalan menemui nabi Musa ‘alaihissalâm
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا.....
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…..”. (QS. Al-Qashash:25)
Inilah sikap perempuan mulia yang menjaga dirinya, ia mendatangi nabi Musa dengan menutupi wajahnya dengan lengan bajunya karena rasa malu yang ada pada dirinya.Inilah rasa malu yang merupakan warisan para, nasihat para nabi untuk para umatnya, Rasulullah bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْت
“Sesungguhnya termasuk yang diketahui manusia dari ucapan kenabian terdahulu: Apabila kamu tidak tahu malu maka lakukanlah semaumu.”
(Abu Isra)

Ibnu Abbas

Sed non nibh iaculis, posuere diam vitae, consectetur neque. Integer velit ligula, semper sed nisl in, cursus commodo elit. Pellentesque sit amet mi luctus ligula euismod lobortis ultricies et nibh.